Senin, 23 Februari 2015

Komodifikasi dan Komersialisasi Angklung di Saung Angklung Udjo

Dalam esai ini saya akan mengulas gejala komodifikasi dan komersialisasi budaya dalam kegiatan pariwisata yang berbasis kebudayaan. Kasus yang saya angkat adalah komodifikasi dan komersialisasi Angklung di Saung Angklung Udjo. Angklung pada awal penciptaanya digunakan oleh masyarakat agraria sebagai alat dalam ritual persembahan untuk Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi kesuburan,seperti di daerah Baduy,Sukabumi,Cirebon pada upacara seren taun,nadran,ngaseuk pare,nginebkeun pare,ngampihkeun pare,ngunjung ka gunung jati dan balena. Tangga nada angklung buhun ( tradisional ) adalah pentatonis da mi na ti la . Disamping sebagai pendamping saat upacara ritual yang sifatnya sakral,permainan angklung juga dijadikan sebagai sarana hiburan dan rekreasi yang sifatnya profan. Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan.
Dalam perkembangannya Daeng Soetigna berinovasi memodifikasi angklung menjadi tangga nada diatonis. Tangga nada internasional ini diharapkan agar angklung dapat memainkan lagu-lagu populer sehingga angklung lebih dikenal oleh publik. Gagasan Daeng Soetigna ini mendorong Udjo Ngalagena untuk mendirikan Saung Angklung Udjo yang kini telah menjadi tempat wisata berbasis budaya.
Dualisitk antara kebudayaan tradisional asli dan kebudayaan untuk turis merupakan salah satu bentuk komodifikasi seperti teori kapitalisme Karl Marx
Saung Angklung Udjo menjual produk budaya berupa pertunjukan musik angklung dan penjualan artefak angklung. Dalam pemasarannya angklung dimodifikasi dan disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Pagelaran musik pun telah distandarisasi demi kenyamanan penonton.

Saung Angklung Udjo adalah tipe wisata Cultural Tourism ( Valene Smith ) yang mana pertunjukan budaya menjadi daya tarik bagi wisatawan. Meski awalnya SAU hanyalah sanggar seni biasa,namun metamorfosa Saung Angklung Udjo hingga menjadi Perseroan Terbatas adalah bukti bahwa SAU tidak hanya fokus pada pengembangan budaya tetapi sudah berbasis industri. Dalam kasus ini angklung mengalami komodifikasi dan komersialisasi budaya. Karl Marx berpendapat bahwa mekanisme ekonomi yang menggunakan uang sebagai media  menjadikan sesuatu menjadi produk industri. Begitupun dengan SAU yang telah terbentuk menjadi Perseroan Terbatas mulai menjadi industri. Artinya angklung bukan hanya artefak budaya namun sudah menjadi barang komoditas yang erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi.
Budaya tidak hanya bertujuan untuk menunjukan bagaimana identitas diri mereka melainkan juga dapat dilihat sebagai peluang bisnis dalam bidang pariwisata khususnya pariwisata berbasis budaya. ( Gart L.Green )
Pelestarian angklung sebagai produk budaya dipromosikan secara intensif. Jika awalnya angklung hanya sekedar alat musik bambu yang dimainkan secara masal oleh penduduk agraris di Jawa Barat,namun sekarang angklung adalah komoditas budaya yang sukses menarik wisatawan domestik dan mancanegara. Perubahan bentuk angklung dan nada menjadi bukti bahwa angklung memiliki potensi dalam pengembangan pariwisata . Indikator bahwa Saung Angklung Udjo mempraktekan komodifikasi adalah dengan SAU melayani order angklung ke luar negeri seperti Jepang,Korea selatan,dll. Hal itu menjunjukan bahwa angklung telah dikomersialisasikan oleh SAU.Sambil menyelam minum air,sambil melestarikan budaya,kebutuhan ekonomi pun terpenuhi. Angklung diproduksi secara masal dan dijual melalui mekanisme pasar. Komodifikasi dan komersialisasi angklung memang disadari betul oleh Daeng Soetigna sebagai seniman dan masyarakat sebagai penggemar angklung. Akan tetapi kebutuhan akan ekonomi ikut mendorong SAU menjadi industri yang bertujuan agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat Padasuka.
Menurut pemahaman Gart L.Green kebudayaan adalah sebuah komoditi sekaligus sumber prestise bagi bangsa yang bersangkutan. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang terjadi pada Saung Angklung Udjo. Daeng Soetigna dan para penerusnya berhasil mengemas angklung sebagai produk budaya yang dapat mudah diterima dan menarik. Komersialisasi dan komodifikasi budaya memiliki 2 kemungkinan,merampok budaya atau melestarikan budaya. Keduanya tergantung pada kontrol atas produk budaya tersebut. Siapa yang memegang kendali. Jika kendali itu dipegang oleh pihak asing maka perampokan budayalah yang terjadi. Sebaliknya jika kendali di tangan pribumi maka kelestarian budaya adalah hasilnya. Kemungkinan kedua lah yang kini dialami Saung Angklung Udjo. Bagaimana fitur budaya diolah menjadi industri dengan tidak meninggalkan akar budaya tersebut. Dalam praktek komodifkasi budaya selalu terkait dengan komersialisasi dan perubahan artefak budaya itu sendiri. Angklung kini dibuat dengan beragam ukuran,ada yang digunakan untuk dimainkan dan ada pula untuk soevenir. Selain itu pertunjukan angklung di Saung Angklung Udjo dikemas secara menarik sesuai selera wisatawan. Dengan konsep pedesaan,ruang pertunjukan SAU didesain dengan interior dari bambu dan kayu untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi penonton. Praktek hospitality ( keramahtamahan ) juga ikut memberi kontribusi dalam menarik minat wisatawan. Para pemain angklung bermain dengan sangat atraktif dan melibatkan penonton dalam pertunjukan sehingga penonton merasa dekat dan diperhatikan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan memiliki potensi yang besar dalam pengembangan bisnis pariwisata. Jika kebudayaan tersebut dikemas secara menarik tanpa meninggalkan akar budayanya maka kebudayaan akan mendatangkan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat. Praktek komodifikasi budaya kerap diasosiasikan pada kerusakan budaya. Hal itu terjadi karena intervensi pihak luar dalam kontrol budaya. Namun dalam kasus Saung Angklung Udjo,komodifikasi dan komersialisasi budaya berdampak positif. Kendali budaya dipegang oleh pribumi.Justru komodifikasi angklung merubah ekonomi masyarakat setempat. Warga Padasuka membuat angklung untuk di jual ke SAU dan menjual pernak pernik pada wisatawan yang datang. Eksistensi angklung senantiasa terjaga dan ekonomi warga pun meningkat. Jadi parktek komodifikasi dan komersialisasi budaya tidak selalu berdampak negatif bagi masyarakat pemilik budaya tersebut.
Daftar Pustaka
Green,Garth L. 2002.Marketing the Nation:Carnival and tourism in Trinidad and
            Tobago. Vol 22(3) 283–304 [0308-275X(200209)22:3; 283–304;026759]
            Copyright 2002 © SAGE Publications (London, Thousand Oaks, CA and New
            Delhi)

Erb,Maribeth .2000. Understanding Tourists Interpretations from Indonesia. Annals of
            Tourism Research, Vol. 27, No. 3. www.elsevier.com/locate/atoures

Kirtsoglou, Elisabeth.and Dimitrios Theodossopoulos.2004. ‘They are Taking our Culture Away’ Tourism and Culture Commodification in the Garifuna Community of
            Roatan. www.sagepublications.com
Meindrawan,Ceppy.Saung Angklung Udjo dan Daya Tarik Pariwisata Budaya.Skripsi
            Jurusan Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran GIE97013.2009.Jatinangor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar