Dalam
esai ini saya akan mengulas gejala komodifikasi dan komersialisasi budaya dalam
kegiatan pariwisata yang berbasis kebudayaan. Kasus yang saya angkat
adalah komodifikasi dan komersialisasi Angklung di Saung Angklung Udjo. Angklung pada awal
penciptaanya digunakan oleh masyarakat agraria sebagai alat dalam ritual
persembahan untuk Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi kesuburan,seperti di
daerah Baduy,Sukabumi,Cirebon pada upacara seren taun,nadran,ngaseuk
pare,nginebkeun pare,ngampihkeun pare,ngunjung ka gunung jati dan balena. Tangga nada angklung
buhun ( tradisional ) adalah pentatonis da mi na ti la . Disamping sebagai
pendamping saat upacara ritual yang sifatnya sakral,permainan angklung juga
dijadikan sebagai sarana hiburan dan rekreasi yang sifatnya profan. Dalam
sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan.
Dalam
perkembangannya Daeng Soetigna berinovasi memodifikasi angklung menjadi tangga
nada diatonis. Tangga
nada internasional ini diharapkan agar angklung dapat memainkan lagu-lagu
populer sehingga angklung lebih dikenal oleh publik. Gagasan Daeng Soetigna
ini mendorong Udjo Ngalagena untuk mendirikan Saung Angklung Udjo yang kini
telah menjadi tempat wisata berbasis budaya.
Dualisitk antara
kebudayaan tradisional asli dan kebudayaan untuk turis merupakan salah satu
bentuk komodifikasi seperti teori kapitalisme Karl Marx
Saung
Angklung Udjo menjual produk budaya berupa pertunjukan musik angklung dan
penjualan artefak angklung.
Dalam
pemasarannya angklung dimodifikasi dan disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Pagelaran musik pun
telah distandarisasi demi kenyamanan penonton.
Saung
Angklung Udjo adalah tipe wisata Cultural
Tourism ( Valene Smith ) yang mana pertunjukan budaya menjadi daya tarik
bagi wisatawan. Meski
awalnya SAU hanyalah sanggar seni biasa,namun metamorfosa Saung Angklung Udjo hingga
menjadi Perseroan Terbatas adalah bukti bahwa SAU tidak hanya fokus pada
pengembangan budaya tetapi sudah berbasis industri. Dalam kasus ini
angklung mengalami komodifikasi dan komersialisasi budaya. Karl Marx
berpendapat bahwa mekanisme ekonomi yang menggunakan uang sebagai media menjadikan sesuatu menjadi produk industri.
Begitupun dengan SAU yang telah terbentuk menjadi Perseroan Terbatas mulai
menjadi industri. Artinya
angklung bukan hanya artefak budaya namun sudah menjadi barang komoditas yang erat
kaitannya dengan kegiatan ekonomi.
Budaya tidak
hanya bertujuan untuk menunjukan bagaimana identitas diri mereka melainkan juga
dapat dilihat sebagai peluang bisnis dalam bidang pariwisata khususnya
pariwisata berbasis budaya. ( Gart L.Green )
Pelestarian
angklung sebagai produk budaya dipromosikan secara intensif. Jika awalnya
angklung hanya sekedar alat musik bambu yang dimainkan secara masal oleh
penduduk agraris di Jawa Barat,namun sekarang angklung adalah komoditas budaya
yang sukses menarik wisatawan domestik dan mancanegara. Perubahan bentuk
angklung dan nada menjadi bukti bahwa angklung memiliki potensi dalam
pengembangan pariwisata . Indikator bahwa Saung Angklung Udjo mempraktekan
komodifikasi adalah dengan SAU melayani order angklung ke luar negeri seperti
Jepang,Korea selatan,dll.
Hal
itu menjunjukan bahwa angklung telah dikomersialisasikan oleh SAU.Sambil menyelam minum air,sambil
melestarikan budaya,kebutuhan ekonomi pun terpenuhi. Angklung diproduksi secara
masal dan dijual melalui mekanisme pasar. Komodifikasi dan komersialisasi angklung
memang disadari betul oleh Daeng Soetigna sebagai seniman dan masyarakat
sebagai penggemar angklung.
Akan
tetapi kebutuhan akan ekonomi ikut mendorong SAU menjadi industri yang
bertujuan agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat Padasuka.
Menurut
pemahaman Gart L.Green kebudayaan adalah
sebuah komoditi sekaligus sumber prestise bagi bangsa yang bersangkutan. Pernyataan tersebut
sejalan dengan apa yang terjadi pada Saung Angklung Udjo. Daeng Soetigna dan para
penerusnya berhasil mengemas angklung sebagai produk budaya yang dapat mudah
diterima dan menarik. Komersialisasi dan komodifikasi budaya memiliki 2
kemungkinan,merampok budaya atau melestarikan budaya. Keduanya tergantung
pada kontrol atas produk budaya tersebut. Siapa yang memegang kendali. Jika kendali itu
dipegang oleh pihak asing maka perampokan budayalah yang terjadi. Sebaliknya jika kendali
di tangan pribumi maka kelestarian budaya adalah hasilnya. Kemungkinan kedua lah
yang kini dialami Saung Angklung Udjo. Bagaimana fitur budaya diolah menjadi
industri dengan tidak meninggalkan akar budaya tersebut. Dalam praktek
komodifkasi budaya selalu terkait dengan komersialisasi dan perubahan artefak
budaya itu sendiri. Angklung
kini dibuat dengan beragam ukuran,ada yang digunakan untuk dimainkan dan ada
pula untuk soevenir. Selain
itu pertunjukan angklung di Saung Angklung Udjo dikemas secara menarik sesuai
selera wisatawan. Dengan
konsep pedesaan,ruang pertunjukan SAU didesain dengan interior dari bambu dan
kayu untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi penonton. Praktek hospitality (
keramahtamahan ) juga ikut memberi kontribusi dalam menarik minat wisatawan. Para pemain angklung
bermain dengan sangat atraktif dan melibatkan penonton dalam pertunjukan
sehingga penonton merasa dekat dan diperhatikan.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan memiliki potensi yang besar
dalam pengembangan bisnis pariwisata. Jika kebudayaan tersebut dikemas secara
menarik tanpa meninggalkan akar budayanya maka kebudayaan akan mendatangkan
manfaat secara ekonomi bagi masyarakat. Praktek komodifikasi budaya kerap
diasosiasikan pada kerusakan budaya.
Hal
itu terjadi karena intervensi pihak luar dalam kontrol budaya. Namun dalam kasus Saung
Angklung Udjo,komodifikasi dan komersialisasi budaya berdampak positif. Kendali budaya dipegang
oleh pribumi.Justru komodifikasi angklung merubah ekonomi masyarakat setempat. Warga Padasuka membuat
angklung untuk di jual ke SAU dan menjual pernak pernik pada wisatawan yang
datang. Eksistensi
angklung senantiasa terjaga dan ekonomi warga pun meningkat. Jadi parktek
komodifikasi dan komersialisasi budaya tidak selalu berdampak negatif bagi
masyarakat pemilik budaya tersebut.
Daftar Pustaka
Green,Garth L. 2002.Marketing the Nation:Carnival and tourism in Trinidad and
Tobago. Vol 22(3)
283–304 [0308-275X(200209)22:3; 283–304;026759]
Copyright 2002 © SAGE Publications (London,
Thousand Oaks, CA and New
Delhi)
Erb,Maribeth .2000. Understanding Tourists Interpretations from Indonesia. Annals of
Tourism
Research, Vol. 27, No. 3. www.elsevier.com/locate/atoures
Kirtsoglou, Elisabeth.and Dimitrios
Theodossopoulos.2004. ‘They are Taking our
Culture Away’ Tourism
and Culture Commodification in the Garifuna
Community of
Roatan. www.sagepublications.com
Meindrawan,Ceppy.Saung
Angklung Udjo dan Daya Tarik Pariwisata Budaya.Skripsi
Jurusan
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran GIE97013.2009.Jatinangor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar