Tentu kita masih ingat dengan kampanye Jokowi yang selalu
berujar tentang efektifitas, berhemat, kerja dan mengabdi untuk kepentingan
rakyat. Belum satupun dari janji-janjinya ditepati. Kartu sakti yang jadi
andalan saat kampanye pun rasanya hanya symbol saja, diberikan hanya kepada
beberapa saja dari orang miskin di Indonesia, saya mengerti karena untuk urusan
kartu itu butuh uang banyak, maka salah satu caranya dengan menghentikan
subsidi BBM yang katanya akan dialihkan untuk sector yang lebih produktif.
Sampai hari ini saya masih setia menunggu apa hasilnya, yang jelas bulan maret
saja sudah dua kali kenaikan BBM dilakukan.
Mengikuti kenaikan BBM harga gas elpiji 12 kg naik, ongkos
kendaraan umum naik, harga bahan pokok tidak luput kena imbas. Alasannya
mengikuti harga minyak dunia, tapi saying pembantu Jokowi belum mampu mengatur
regulasi harga bahan pokok, mengantisipasi naiknya ongkos transportasi dan
akhirnya rakyatlah yang menjadi korban, seperti biasanya. Kenaikan harga BBM
yang galau dan labil tidak diikuti dengan kenaikan gaji para pegawai baik
negeri maupun swasta. Saya akan acungi empat jempol jika Presiden mampu
menyesuaikan gaji pegawai sesuai kenaikan harga BBM juga. Nah susah kan karena
pasti prosesnya jelimet, tapi itu urusan Presiden dan pembantunya toh mereka
digaji dari uang rakyat, yah selamat berpikir keras karena kalian kami bayar
untuk berpikir bukan ongkang-ongkang kaki dan sibuk dengan hal yang tidak
darurat.
Hari ini rakyat Indonesia kembali terluka, setelah hobi baru
pemerintahan sekarang yang doyan menaikan harga bahan bakar minyak dengan
kegagalan upaya preventif dan control terhadap harga bahan pokok dan biaya
transportasi bagi rakyat, kini muncul wacana yang saya rasa segera akan menjadi
nyata yaitu menaikan tunjangan uang muka bagi pejabat Negara untuk pembelian
kendaraan perorangan dari Rp. 116.650.000,- menjadi Rp. 210.890.000,-. Menurut
versi pemerintah wacana ini berawal dari surat Ketua DPR-RI Setya Novanto
kepada Presiden Jokowi, yang kemudian dikomunikasikan melalui Menteri Keuangan
Bambang Brodjonegoro. Awalnya DPR mengajukan kenaikan sebesar Rp. 250.000.000,-
dengan pertimbangan kenaikan harga kendaraan (setkab.go.id). Maka keluarlah
Perpres No.39 tahun 2015 untuk menyetujui kenaikan tunjangan uang muka
kendaraan pejabat Negara/eselon I.
Saya sungguh tidak pandai menghitung, tidak juga paham soal
akuntabilitas dan managemen, namun saya yang terbiasa berhadapan dengan masalah
social sangat terluka dengan keputusan tersebut. Rasanya gaji dan tunjangan
mereka sudah cukup untuk makan dan menyekolahkan anak-anak mereka para pejabat
yang katanya ingin bekerja mengabdi untuk rakyat. Wajar memang jika para
pejabat dapat mobil dinas. Misalnya peemrintah beli saja mobil merek Avan*a
yang harganya Rp.186.100.000,- itu sudah lebih dari cukup jika mereka melihat
di lebak banten misalnya orang untuk berpindah sejauh belasan kilo hanya dengan
berjalan kaki. Dan mobil dinas sifatnya tidak memaksa, jika mau silahkan kalau
mau yang lebih beli saja sendiri. Dengan alas an tidak semua pejabat
menggunakan mobil dinas bukan lantas pemerintah memanjakan mereka dengan
memberi uang muka kendaraan.
Berhemat, nawa cita, sederhana, bekerja dan rayuan gombal
Jokowi lainnya sangat kontradiktif dengan apa yang langsung kita alami. Saya
menanyakan dimana urat empati mereka, rakyat morat-marit mikir bagaimana mengatur
uang yang tidak tambah setiap bulannya yang harus menutupi kebutuhan hidup yang
kian menyulitkan.
Maklum jika banyak gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya
Jokowi-JK, karena mahasiswa yang idealis masih punya nurani dan mampu
memposisikan diri sebagai rakyat yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang
tidak solutif.
Saya hanya bisa menulis seperti ini, karena butuh kekuasaan
untuk dapat melawan kebijakan pemerintah. Saya berdoa semoga Presiden Jokowi
dan para pembantunya, serta Ketua DPR RI dengan anggota-anggotanya yang
dibilang “anggota dewan terhormat” ( entah apa kriteria mereka terhormat, saya
ga ngerti) diberi hidayah oleh Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar