Jumat, 12 Agustus 2016

Pak Menteri, Biarkan Kami Bermain, Kami Akan Rajin Belajar

Ganti menteri,  ganti rasa,  ganti selera.  Reshuffle jilid 2 Kabinet Kerja Jokowi-JK salah satunya memunculkan nama Prof.Dr.Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Anis Baswedan.  Bukan rahasia,  tiap pergantian menteri pasti selalu ada kebijakan baru.  Mendikbud yang baru membuat wacana "full day school". Belum jelas apa yang beliau maksud "full day", mungkin sekolahnya dari pagi sampai maghrib.  Alasannya agar para pelajar (SD dan SMP) tidak terlibat hal-hal negatif setelah pulang sekolah, selama orangtua mereka belum pulang. 

Saya geregetan dengan wacana ini. 
1. Dunia anak adalah dunia bermain. Orang dewasa aja pasti stres kalau seharian ada di tempat yang itu-itu aja.  Apalagi sekolah di negeri ini sebagian dianggap tempat angker bagi anak-anak.  Ditambah sekolah di Indonesia dikenal dengan beban belajarnya yang super duper berat.  Belasan mata pelajaran harus dilahap habis. Kita pasti masih ingat kan jaman sekolah dulu,  berapa banyak buku yag harus kita beli dan pelajari.  Kita belajar ini itu,  apa kamu masih ingat pelajaran matematika jaman SMP dulu?, saya sih udah lupa.

2. Niat pak Menteri mungkin baik,  supaya siswa tetap aman selama ditinggal kerja orangtuanya.  Kata pak menteri siswa bisa disibukan dengan agenda mengaji bagi yg muslim,  atau kegiatan belajar kelompok di sekolah agar siswa sibuk dengan kegiatan positif. 
Tapi pak menteri,  tidak semua orangtua siswa bekerja.  Tidak sedikit ibu mereka standby di rumah karena tidak berkarir di luar rumah.  Bagaimana dengan anak-anak yg punya kegiatan ekstrakulikuler di luar sekolah,  mengaji di madrasah dekat rumah.  Dan yang paling penting, kapan anak bisa bermain?. Bermain itu penting,  bukan main-main.  Bisa gila anak-anak hidup tanpa bermain.  Orang dewasa aja lebih memilih liburan di pantai ketimbang duduk di ruang rapat penat.  Apalagi anak-anak yang memang terlahir untuk bermain. 

3. Bapak pikir para guru tidak punya kegiatan lain selain mendidik murid di sekolahnya.  Siapa tahu mereka punya kerja sampingan,  karena gaji guru di kita masih kalah sama gaji buruh pabrik.  Jangan tutup mata,  masih ada ribuan guru yg dibayr dari belas kasihan dana BOS,  itupun kalau ada sisa.  Nah loh,  sehina itukah apresiasi untuk guru-guru kita.  Kalau sekolah dari pagi sampai sore, kapan para guru bergaji rendah itu bisa cari penghasilan tambahan?.Bukan hal yang aneh beberapa guru punya profesi lain selain mengajar di sekolah,  ada yang dagang,  guru privat,  jadi tukang ojeg,dll. Kalau gaji semua guru minimal 5 juta sih, okelah itu masih manusiawi. 

3. Perlu diketahui tidak semua sekolah punya fasilitas yang baik pak.  Di kampung saya masih banyak sekolah yang berlakukan 2 shift.  Karena minimnya ruang kelas. Lapangan? Taman sekolah?  Perpustakaan?  Lab biologi?  Jangan ditanya,  boro-boro.  Punya toilet satu biji dengan aroma sedap itu aja udah syukur. 

4. Sibukan murid dengan ekstrakulikuler di sekolah. Iya kalau ada,  kalau enggak ada gimana?  Kan gak semua sekolah punya guru pramuka, bayar guru seni atau pelatih pencak silat. 

Dalam hemat saya justru lebih baik jam belajar atau mata pelajaran siswa agak dikurangi,  lebih spesifik.  Tidak ada salahnya kita meniru dan memodifikasi sistem pendidikan ala finlandia misalnya.  Googling sendiri aja ya seperti apa sistemnya. 
Biarkan anak-anak menikmati masa kanak-kanak mereka yang singkat itu dengan bermain.  Tentu saja orangtua tua, guru dan masyarakat juga sama-sama menjadi pelindung dan pengawas anak-anak. 

SOLUSI

1. Perbaiki fasilitas sekolah, sejahterakan guru tanpa terkecuali, pemerataan kualitas sekolah.  Kalau itu sudah dicapai,  wacana pak menteri di atas baik untuk dilakukan. 

2. Kalau poin satu agak susah diwujudkan, kemendikbud bisa kerjasama dengan kemensos, kemendagri, agar dapat berkoordinasi dengan masyarakat termasuk orangtua supaya anak punya kegiatan positif setelah pulang sekolah.  Ada baiknya kalau tiap RT atau RW punya madrasah atau perguruan silat dan semacamnya agar kegiatan anak-anak sepulang sekolah dapat diawasi. Sediakan tempat bermain, makanya penting sekali punya lapangan.

Saya sendiri belum punya solusi jitu untuk persoalan yang jadi kegelisahan pak Menteri ini.  Semoga Allah segera memberikan pencerahan untuk solusi permasalah ini. 

Bukan Surat Cinta, Bukan Puisi Romantis.

Sebelum aku berceloteh, kamu jangan geer dulu.  Ini bukan puisi roman picisan,  atau puisi rindu Cinta dan Rangga.

Aku tidak pandai bicara soal cinta,  iya agak payah memang.  Disaat yang lain sibuk tebar pesona mencari pacar,  aku justru terlalu sibuk dengan pendidikan yang amat membosankan.  Asal kau tahu aku berjuta kali nyaris jatuh cinta,  tapi berjuta kali pula aku tersadar, bocah ingusan ini belum mampu merawat cinta. Ah jangankan cinta,  uang jajan pun aku masih minta orangtua.  Malu rasanya menggandeng anak gadis orang dengan kondisi dompet meradang.  Merasa tak tahu diri jika harus berbohong minta uang lebih untuk buku padahal demi nonton bareng si doi. 

Tuhan punya cara menjauhkanku dari petaka pacaran.  Dalil dan sabda dan benteng para sahabat soleh yg tidak pernah lelah mengingatkan aku yang suka lupa ini, perlahan mulai membentengi diri ini agar bersabar menanti yang halal,  meski yang haram teramat menggoda di depan mata.  Aku tahu, aku pria yang jauh sekali dari kriteria soleh.  Bahkan kadang suka iri lihat ada teman atau orang lain yang ahlaqnya luar biasa soleh.  Tapi sudahlah,  tiap orang kan punya jalannya sendiri.

Kamu jangan capek dulu,  masih panjang loh celotehanku. 

Yang muda yang bercinta,  aku merasakan itu dengan bentuk dan rasa yg berbeda.  Orang bilang sih cinta dalam diam. Nah loh gimana rasanya?. Yah nano nano lah ada manis asam asin. 

Kamu bukan perempuan pertama yang aku suka.  Aku jatuh hati padamu bukan yang pertama.  Tapi apalah artinya pertama jika tidak jadi yg terakhir, iya kan. Jangan marah yah. 

Saat aku menulis ini, aku belum tahu siapa perempuan manis yang aku tuju di surat ini.  Tapi yang jelas siapapun kamu,  namamu, pekerjaanmu, keluargamu, kamulah jodohku.  Betapa irinya pria di muka bumi ini karena perempuan yang mungkin Tuhan ciptakan dalam waktu yg lebih lama hingga wujud rupa dan hatinya elok dipandang mata, menentramkan hati ini telah Tuhan buat jatuh hati padaku.  Bukan aku geer,  tapi nyatanya kalau kamu gak jatuh hati sama aku kita tidak akan jadi yang halal seprti ini kan. 

Aku bersyukur Tuhan menitipkanmu padaku,  meski sulit pastinya bagiku untuk menjaga harta terindahNya ini.  Sayang,  kamu tahu pasti kurangnya diri ini seperti apa.  Meski tidak banyak yang bisa aku banggakan kepadamu,  tapi aku mohon beri aku kesempatan untuk menyicil kebahagiaan yang jadi hakmu.  Aku tidak butuh sanjungan, aku hanya butuh dimanja saat aku lelah. Aku tidak butuh diammu,  aku perlu kamu bicara saja apa kurangku.  Kamu tidak perlu menyesakan dadamu menyimpan perih jika itu ada, dadaku masih muat kok untuk menyimpan perihmu itu.  Sesekali kamu berhak tak memanggilku SAYANG, biar aku tahu berarti ada yang salah denganku.  Kadang aku lupa,  tolong ingatkan yah.  Jika lisanku melukaimu, sudah pasti setan sedang menguasaiku, sudikah kamu memaafkan aku?.

Kamu tahu kan lagunya TULUS,  JANGAN CINTAI AKU APA ADANYA. Begitupun aku berharap padamu.  Kalau kamu sedih,  kecewa,  kesal dan marah padaku,  silahkan bicaralah.  Tak ada lisan yang menyakitkan jika di dalamnya ada aturan Tuhan.  Aku yakin kamu tidak akan berbicara tak sopan padaku,  karena kamu manusia setengah malaikat, tidak mungkin sumpah serapah keluar dari mulut seorang bidadari.

Kamu pasti capek baja surat yang gak jelas ini.  Hehe.  Tapi aku gak akan capek. Ini mah belum seberapa.  Yaudah suratnya sampai sini dulu, insya Allah next time dilanjutin lagi. 

Ketika Guru Tak Lagi Dihormati

Guru, setidaknya dua puluh tahun lalu guru adalah profesi yang terhormat.  Guru, digugu ditiru. Sangat jarang murid berani melawan guru secara terang-terangan apalagi dengan kekerasan.  Senakal-nakalnya murid pasti ciut kalau sudah diinterograsi oleh gurunya.  Tapi itu dulu.  Kita nostalgia dulu sebentar.  Masih ingat saat kita SD, godaan untuk keluar saat jam pelajaran sulit dibendung,  alhasil cari alasan ke toilet, awalnya satu orang, dua orang,  tiga sampai akhirnya sisa setengahnya saja yg standby di kelas. Masih segar dalam ingatan saat SMP paling males kalau upacara bendera, ide mainstream pura-pura sakit perut,  yang perempuan bisa mengakali dengan alasan haid, suka pusing kalau lama-lama di bawah terik matahari.  Katanya sih begitu.  Satu lagi,  ingat kan saat SMA sering sekali nyolong waktu biar bisa nongkrong di kantin.  Meski was-was takut ketahuan guru acara nogkrong di kantin jalan terus.  Murid cowok paling muak kalau bicara soal rambut.  Kadar kegantengan seakan turun tatkala harus mencukur rambut karena kepanjangan.  Rasanya pengen ngunyah itu guru BP kalau menggunting paksa rambut kesayangan ini, mana nyukurnya sembarangan,  alhasil daripada kepala ini tak punya rupa rambutpun harus dibabat sampe tersisa panjang satu senti. 

Itu hanya sedikit nostalgia kita saat sekolah dulu.  Meski kesal, tapi kita paham betul sekarag bahwa itulah sekolah.  Tempat kita mengenal apa itu aturan, reward dan punishment.  Kenapa sekolah harus punya aturan?.  Hey aturan di sekolah itu gak seberapa.  Bandingkan dengan aturan yang harus kita patuhi ketika kita hidup di masyarakat.  Aturan RT, RW, saat kita jadi mahasiswa,  jadi karyawan atau jadi bos sekalipun kita tetap harus tunduk dengan aturan, maka sekolah jadi tempat simulasi agar kita terbiasa dengan itu.  Kalau kamu tidak ingin hidup dengan seperangkat aturan yang menurutmu menyebalkan,  yah buat aja dunia sendiri, atau pindahlah ke hutan belantara tanpa manusia lain selain dirimu sendiri,  yakin deh tidak ada yang akan peduli sama kamu.

Di era sekarang muncul gagasan,  ide yang cukup akrab di telinga kita.  Perlindungan anak. Yah di satu sisi memang anak harus dipenuhi hak-haknya.  Tapi tidak sedikit ini dijadikan jurus jitu bagi si anak manja yang aduan dan orangtua yang tidak paham, tidak mampu membedakan mana kekerasan,  mana latihan kepatuhan. Anaknya nakal di sekolah ditegor dikit, marah,  lebay lagi marahnya.  Anaknya yang jelas-jelas melawan guru,  bahkan berani mengancam,lebih jauhnya sampai berani memukul dan mencaci guru,  eh orangtuanya datang, bukan minta penjelasan sang guru malah justru bertindak lebih-lebih dari preman.  Preman sih masih mending paling beraksi di pasar atau pinggir jalan. Eh ini mah di sekolahan. 

Kata beberapa pengamat pendidikan,  banyak pihak yang memanfaatkan UU perlindungan anak agar guru tidak berkutik jika anak mereka berulah.  Supaya anak mereka terbebas dari teguran,  bentakan dan cubitan sang guru.  Dan sialnya lagi kalau anak mereka nakal, nilainya jelek yang disalahkan justru gurunya.  Sekarang kalau ibu dan bapak tidak rela anaknya 'dimarahi'oleh gurunya,  mending anda ajarin aja anak anda di rumah gak usah dimasukin ke sekolah.  Kalau butuh ijazah ikut aja ujian kesetaraan,  beres kan.  Atau kalau tetap ingin sekolah tapi tidak sudi jika anak anda yang nakal dan pembangkang, guru bisa saja membiarkan anak anda.  Tapi jangan salahkan guru jika anda akan sangat kewalahan dengan sifat anak anda yang telalu anda manja hingga lupa hormat pada orangtua.  Yah paling anda hanya buang uang aja.  Toh kalau anak anda jadi anak yg baik atau tidak baik, guru tidak akan kebagian apa-apa.  Setelah dia lulus paling dia lupa dengan gurunya atau inget sih tapi lupa balas jasa.

Wahai para orangtua,  menjadi guru itu bukan perkara mudah.  Hargai mereka,  biarkan mereka melakukan tugasnya,  tugas anda mengawasi saja.  Kalau ada yang menjurus pada kekerasan atau sebagainya, gampang laporkan saja.  Tapi AWAS selidiki dulu,  itu kekerasan atau pelajaran disiplin kepatuhan?, awas jangan ketuker. 
Semoga tidak ada kisah pilu tentang dunia pendidikan lagi.