Selasa, 04 Maret 2014

PEMILU UNTUKMU, PILIH DENGAN HATIMU

PEMILU UNTUKMU, PILIH DENGAN HATIMU

Evaluasi Pemilu
Pemilihan Umum yang merupakan produk demokrasi sejatinya dapat menjadi ajang pesta rakyat, arena demokrasi benar-benar direalisasikan dalam sebuah momen lima tahunan. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden. Pesta demokrasi lima tahunan ini bukan pesta murah, anggaran yang digelontorkan Negara mencapai angka 14,4 triliun rupiah (Kompas,Selasa 11/2/2014). Dengan anggaran sebesar itu tentu sangat diharapakan gelaran akbar itu berjalan mulus, penuh dengan partisipasi rakyat dan tercapai substansi yang diharapkan yaitu mendapatkan sosok pemimpin yang benar-benar mencintai negeri ini.
Meski demikian, bukan tanpa kendala penyelenggaraan pemilu sering kali terhambat oleh beberapa masalah. Salah satunya adalah perihal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masalah DPT berawal dari Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang berantakan dari data Kementerian Dalam Negeri. Banyak nama ganda, warga yang berusia di bawah tujuh belas tahun ikut masuk menjadi pemilih tetap,dan lain sebagainya. Kisruh DPT membuat hilangnya hak pilih warga karena tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, sesuai dengan UU No. 10  tahun 2008 yang memiliki hak pilih adalah yang tercantum di DPT. Dengan demikian evaluasi penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dan 2009 adalah :
1. Lemahnya cakupan data
2. Kemutakhiran data
3. Akurasi Data
4. DP4 yang kacau
5. Nomor Induk Kependudukan (NIK)
6. Program E-KTP belum menyeluruh.
Kendala teknis seperti sudah terjadi sejak pemilu 2004, tentu sangat diharapkan pada penyelenggaraan pemilu 2014 KPU dapat belajar dari pengalaman atas kisruh DPT yang berdampak pada kemungkinan hilangnya hak pilih rakyat dan bagi partai politik tentu ini akan merugikan mereka untuk meraup suara sebanyak mungkin.


Golput (golongan putih)
Istilah Golput (golongan putih) adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap praktik politik dari orang-orang yang kecewa terhadap penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam pemilu legislatif) atau Presiden (dalam pemilu Presiden). Dalam sistem demokrasi golput adalah sesuatu yang tidak dilarang karena menyangkut hak orang dalam menyuarakan pendapat dan suara.
Golput dapat pula diartikan sebagai ekspresi keputusasaan rakyat atas kenyataan yang dirasakan menyakitkan, dengan pengingkaran janji para pemimpin yang telah naik tahta. Akan tetapi, apakah golput dapat dikatakan sebuah solusi?.
Tidak memilih adalah pilihan, ya pilihan untuk tidak berkontribusi dalam membangun negeri. Apa mau dikata Negara kita Indonesia sekarang masih betah dengan sistem demokrasinya, pemilu sebagai salah satu produk demokrasi cukup menguras kantong Negara hingga belasan triliun rupiah. Dana sebesar itu teramat sayang jika tidak dimanfaatkan dengan baik oleh segenap rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih. Berdasarkan penafsiran hukum, ketentuan hukum terhadap golput terbelah menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang berpendapat golput bisa dipidana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu legislatif:
Beragam alasan mengapa orang tidak mau menggunakan hak pilihnya, karena partai politik yang ada tidak mengakomodasi idealisme, enggan mencari tahu perihal peserta pemilu atau bahkan rasa malas jika harus datang ke TPS. Upaya sosialisasi dan minimalisasi jumlah golput sudah dilakukan oleh berbagai institusi selain dari KPU. Upaya pencerdasaan dilakukan untuk menekan angka golput yang kian mengkhawatirkan.
Semakin tingginya para golongan anti memberikan hak suara ini dilandasi banyak hal antara lain;
  1. Rendahnya trust kepada partai atau personal yang memamerkan senyum manis di lembaran pilihan.
  2. Tingginya persepsi pemilih terhadap rendahnya akhlak dan perangai calon legislator, presiden dan wakilnya sehingga memutuskan untuk tidak menginginkan keterwakilan harapannya kepada mereka yang memamerkan senyum manis dilembar suara.
  3. Kegagalan KPU(D) dalam merekapitulasi jumlah calon pemilih (DPS) dihierarki daerah pemilihan
  4. Karena memang memutuskan untuk tidak terlibat diajang pemilihan mereka yang memamerkan senyum manis di lembar suara.(Kompas 25 April 2013).
Pemilu 2009 angka golput mencapai 39.1%, persentase yang tidak sedikit, artinya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap para calon pemimpin kian berkurang. Bukan tanpa alasan, golput juga muncul karena ulah sebagian pejabat Negara yang mengkhianati amanat rakyat, terlibat dalam skandal korupsi kelas kakap, serta pembangunan yang masih jauh dari harapan.


Mari Memilih
Dengan kekurangan penyelenggaraan pemilu serta perilaku buruk sebagian pejabat negeri ini yang seyogyanya tidak dinilai secara general. Harapan masih ada, upaya harus terus dilakukan, bagaimana kemudian kita memilih pemimpin yang mempunyai integritas dan kapabilitas dalam mengelola Negara ini dengan bijaksana. Dengan anggaran dana sedemikian besarnya, apakah tidak sayang jika begitu saja dilewatkan momen penting, pertaruhan masa depan bangsa lima tahun mendatang. Masih beranikah kita mengeluh, protes atas kondisi Negara kita sedangkan kita tidak berusaha mencari sosok pemimpin dalam proses pemilu?.  Harmonisasikan hati dan pikiran, selamat memilih, 9April dan 9 Juli 2014.


Penulis: Gumiardi Aprian G.P.(Staf Kementerian Luar Negeri BEM Kema Unpad).