Senin, 23 Februari 2015

Jaringan, Kunci Sukses Bisnis Orang Tionghoa

Dalam kehidupan manusia berkaitan dengan kebudayaannya tentunya manusia tidak terlepas dari yang namanya interaksi. Interaksi merupakan proses sosial antar manusia. Interaksi ini kemudian membentuk kehidupan sosial yang nantinya menjadi dasar dalam sistem sosial di dalam struktur kehidupan manusia tersebut. Adanya suatu sistem di dalam kehidupan antar manusia mengakibatkan antara individu dalam sistem tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan saling ketergantungan. Ketergantungan antara manusia itu memunculkan suatu sikap dan perasaan untuk saling membutuhkan dan saling memenuhi antara kebutuhan diantara mereka. Alasan inilah yang membuat manusia berpikir bahwa suatu kebutuhan diantara mereka tidak akan terpenuhi tanpa bantuan orang lain.
Ekonomi politik pada hakikatnya adalah melihat hubungan timbal balik antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik, namun setelah kita melihat indikator perbedaan antara ekonomi dan politik tentu juga ada persamaan antara dua ilmu ini, yaitu sama-sama untuk mencapai kepuasan, ketika orang sudah kaya atau sudah bosan dengan kekayaan tersebut maka mereka mencoba merubah kebosanan dengan masuk  atau terjun ke ranah politik. Baik secara langsung atau melalui sokongan dana bagi penguasa pemerintahan.
Maka tidak heran sekarang, banyak yang ada di parlemen kita sekarang berasal dari pengusaha, dan tidak heran juga kenapa banyak calon kepala daerah yang bertarung dalam pilkada, sumbangan mengalir banyak dari para pengusaha, sehingga ketika calon kepala daerah ini terpilih akan memudahkan akses ekonomi bisnis proyek para pengusaha, sekali lagi motif ekonomi dan politik dua hal yang berbeda tetapi sulit untuk dipisahkan karena ilmu ini selalu akan terjadi interaksi karena kepentingan itu tadi.
Berbicara tentang orang cina di Indonesia, citra yang muncul di benak kita adalah orang-orang pekerja keras yang sukses dalam dunia bisnis. Keuletan dan kejelian dalam menemukan peluang menjadi amunisi yang mampu mengalahkan lawan. Kesuksesan banyak orang cina di Indonesia sering menimbulkan kecemburuan, mereka yang merupakan kaum pendatang mampu menguasai perekonomian pribumi Indonesia di hampir semua sektor. Mereka dianggap merusak tatanan ekonomi masyarakat pribumi. Ketertinggalan ekonomi pribumi kontra kemajuan ekonomi orang Cina sudah terjadi sejak jaman orde baru. Konflik seringkali pecah, bahkan pasca orde baru terjadi penjarahan besar-besaran di rumah-rumah orang Cina. Stereotipe terhadap orang-orang Cina sudah terlanjur terinternalisasi sejak jaman kolonial hingga sekarang.
Ketidaksenangan pribumi terhadap keberhasilan usaha orang-orang cina di Indonesia yang semakin berkembang mencapai puncaknya dalam huru-hara yang pecah di Jakarta selama kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka bulan Januari 1974, dengan mengahancurkan took-toko pengusaha cina di pusat perbelanjaan Senen yang saat itu baru dibangun. Kerusuhan paling besar yang telah membuat trauma dan hampir melanda seluruh kota-kota di Indonesia, yang menciptakan rasa takut tidak saja bagi etnis Cina tetapi juga seluruh lapisan masyarakat adalah peristiwa 12 - 14 Mei 1998. Sebab, "Mei Kelabu" sering disebut demikian disertai dengan tindakan kekerasan seperti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan bahkan pemerkosaan (Siburian, 1999).
             Meski dalam pergaulan sosial di masyarakat, orang Cina dan orang pribumi kerap terlibat perselisihan terutama saat rezim Soeharto akan tetapi di tingkat elit politik justru para pengusaha Cina begitu dekat dengan para pejabat pemangku kekuasaan. Kedekatan ini diinterpretasikan sebagai langkah untuk memuluskan bisnis mereka di Indonesia. Dengan menjalin hubungan yang erat maka kebijakan akan dengan mudah diatur sesuai dengan kepentingan pengusaha. Masalah perijinan pun menjadi lebih mudah diperoleh.
Kesempatan yang terbuka bagi usaha orang Cina mendapat banyak kritik , terutama oleh para pesaing usaha pribumi. Kritik tersebut ditujukan bagi para cukong ( pengusaha-pengusaha tionghoa yang bersekutu dengan pemegang kekuasaan Indonesia). Mereka diuntungkan dan mendapat perlakuan yang istimewa untuk kontrak, izin dan kredit sebagai imbalan atas bagian keuntungan untuk pejabatan yang bersangkutan. Meskipun pengusaha-pengusaha Cina sangat jarang yang memiliki posisi strategis di pemerintahan, dengan jaringan yang luas dengan para pejabat mereka memiliki peluang pasti untuk kemudahan bisnisnya. Sederhananya mereka ada di ‘belakang layar’.
Secara aktual empirik dalam dunia politik menyatakan bahwa tidak ada kawan atau pun musuh yang abadi tetapi yang kekal adalah sebuah kepentingan, dimana para pelaku politik menjalin interaksi hanya untuk pertukaran kepentingan yang sifatnya mutualisme. Jika hubungan sudah tidak lagi mendatangkan keuntungan, maka selesailah hubungan tersebut.
Gradasi hubungan penguasa dengan pengusaha dalam dunia politik sulit terpisahkan, dunia politik membutuhkan asupan dana untuk menggulirkan dan memperkuat fondasi strategi politik demi memperoleh kekuasaan. Tentu saja dana itu disedot dari kantong dan pundi-pundi para pengusaha. Biaya kampanye partai politik dan para calon pemimpin membutuhkan dana yang tidak sedikit. Di sisi lain, pengusaha memformulasikan hubungan yang real untuk mendapatkan ganjaran dan imbalan yang seimbang dari kontribusi yang disumbangkan kepada elit politik. Lawrence C.becker dalam resiprositas mengandung nilai moral dimana kita memiliki kewajiban memberi,menerima dan membalas hadiah.
Pada perspektif patron-klien (Maswadi Rauf, 2001:103) menyatakan bahwa hubungan itu merupakan proses tukar menukar jasa. Dengan kata lain kedua belah pihak terlibat dalam proses saling memberi dan menerima. Patron memberikan resources yang dimilikinya untuk dimanfaatkan para klien, dan para klien memberikan dukungan dan bantuan kepada patron.
Kekuasaan elit politik dan relasinya dengan pengusaha menciptakan konsensus politik yang menjadi magnet hubungan pertukaran kepentingan seperti distribusi posisi kekuasaan, penanganan proyek serta kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Realitasnya bahwa bantuan operasional politik, untuk “melunasi biaya politik” yang harus ditanggung penguasa, kepada kelompok pengusaha yang telah melimpahkan dukungan dalam memenangkan suksesi politik.
Dalam hubungan kerjasama orang cina sangat mengedepankan kesetiaan, apabila relasinya dapat bersikap setia dan jujur maka loyalitas orang Cina tidak diragukan lagi, bahkan mereka akan mengangap relasinya sebagai keluarga fiktif. Kekuatan ekonomi orang Cina dalam relasinya dengan para elite politik berimplikasi pada kekuasaan yang dimilikinya melalui para pejabat.
Seperti pengusaha umumnya, Liem lihai mendekati banyak orang yang memiliki akses kepada kekuasaan apalagi saat itu pengusaha keturunan Cina mendapat rintangan yang serius dalam berusaha di Indonesia. Saat itu sedang ramai jenis usaha jual-beli beslit, karena kebijakan Assa’at yang menghalangi pengusaha keturunan Cina menguasai sektor ekonomi, Assa’at mengeluarkan apa yang disebut ‘Program ekonomi Benteng’. Namun agenda ekonomi yang bernada rasial itu malah jadi permainan dagang jual beli beslit yang kerap disebut sebagai Ali-Baba. Pada tahun 1957 ia berhasil menguasai saham Bank Central Asia, dari BCA inilah kemudian ia membentuk kanal-kanal modal ke berbagai unit usaha antara lain ke PT Mega, dimana salah satu mertua Bung Karno, ayah kandung ibu Fatmawati yang bernama Hassan Din dilibatkan.
Kutipan diatas menunjukkan bagaimana Presiden dan Jenderal-Jenderal Militer baik pada masa Sukarno dan Suharto memiliki hubungan khusus dengan pengusaha, saat itu persoalan rasial memang amat pelik bahkan di masa Sukarno persoalan itu kerap membuat kerusuhan sosial, di masa Suharto kerusuhan bisa dikendalikan. Selain itu narasi yang disampaikan Jenderal Mitro dalam biografinya memperkuat analisa bahwa memang struktur kekuasaan di Indonesia tidak berubah sejak jaman Hindia Belanda, di masa Hindia Belanda ada ungkapan : Elke Regent Heeft zijn Chinees Tiap Bupati punya orang Cinanya.
Menurut analisa banyak pengamat bisnis asing, bisnis raksasa Liem Sioe Liong ‘tak akan bertahan satu hari setelah Suharto jatuh’ karena memang Liem sendiri amat bergantung pada fasilitas-fasilitas yang diberikan penguasa Orde Baru ini, berdasarkan hitung-hitungan bisnis ini Liem tidak akan berlangsung lama setelah kejatuhan Suharto, akan tetapi nyatanya sekarang bisnis Liem masih berjalan bahkan berkembang. Liem membangun apa yang disebut jaringan bisnis luar negeri grup Liem –“The Liem’s Offshore Empire” Liem membangun banyak pabrik dan jaringan bisnis di Liberia, Antillen Islands, Hongkong, Singapura, Amerika Serikat, Belanda dan banyak negara lainnya.
Pada bulan Mei 1998 Suharto jatuh oleh hantaman krisis ekonomi yang kerap disebut ‘krisis moneter’. Liem Sioe Liong jelas terkena akibatnya, ia sendiri merasa trauma dengan penyerbuan massa ke rumahnya, menghancurkan di dalamnya, menarik turun fotonya dan membakar fotonya di tengah jalan. Liem dianggap massa sebagai ‘bagian terlekat dari rezim Suharto’. Setelah huru-hara dan masuknya rezim reformis yang baru hasil kesepakatan kelompok oposisi dan loyalis Suharto yang kemudian balik badan menentang Suharto tercapai, Indonesia mulai stabil kembali tapi tidak bagi Liem banyak perusahaannya terjerat BLBI dan segala macam bentuk kesulitan lainnya beberapa perusahaan besarnya diambil alih konglomerat lain seperti Prajogo Pangestu. Liem akhirnya hijrah ke Singapura dan tidak kembali tinggal di Indonesia.
Kesimpulan
Dalam membangun kerajaan bisnis diperlukan jaringan yang luas dengan berbagai kalangan, tak terkecuali dengan para elite politik pemangku kekuasaan. Sosok pemimpin menentukan kelanjutan bisnis orang cina di indonesia. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah akan berpengaruh terhadap keberlangsungan bisnis. Maka bukanlah hal yang aneh jika banyak pengusaha cina yang memiliki kedekatan personal dengan para pejabat yang berkuasa. Elite politik termasuk pemerintah menjadi alat untuk menyetir kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak pengusaha. Kucuran dana kampanye dari para pengusaha harus dikembalikan dengan kemudahan akses membuka usaha. Perijinan, permodalan, dsb menjadi lebih mudah, ekspansi bisnis dan ekstensi bisnis akan lebih mulus karena semua urusan administratif dengan mudah terselesaikan. Dengan kekuatan ekonominya para pengusaha cina dapat mengendalikan para pejabat untuk kepentingan bisnisya..
Kita dapat belajar dari falsafah orang cina bahwa untuk dapat hidup dan berbakti pada keluarga,masyarakat,bangsa dan negara membutuhkan materi, yang diperoleh melalui kerja keras dan pandai mencari dan memanfaatkan peluang. Etos kerja yang tinggi dan serta kedisiplinan yang ditanamkan sejak kecil dari lingkungan keluarga membentuk karakter pribadi yang apresiatif dengan waktu. Nilai-nilai budaya dan agama benar-benar diaplikasikan secara nyata dalam berbagai dimensi kehidupan orang cina. Sebetulnya kita sebagai pribumi memiliki peluang untuk sukses seperti mereka. Kembali pada akar nilai budaya dan agama, kita akan mampu membangun bangsa dengan kekuatan ekonomi,kemapanan budaya dan stabilitas politik yang menjadi ciri bangsa yang maju.
Sumber :
Nugrahanto,Anton DH. 2012.In Memoriam Liem Sioe Liong. http://sosok.kompasiana.com/2012/06/11/in-memoriam-liem-sioe-liong-468894.html
Burke,Peter.1993.History and Social Theory.Cornel University Press:New York ( e-book )
Becker,C.Laurence.1986.Reciprocity.University of Chicago Press:London ( e-book )
Serge,Christophe Kolm.Reciprocity:An Economics Of Social Relations( e-book )
Coppel,A. Charles.1994.Tionghoa Indonesia Dalam Krisis.Pustaka Sinar Harapan:Jakarta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar