Dalam kehidupan manusia berkaitan dengan kebudayaannya
tentunya manusia tidak terlepas dari yang namanya interaksi. Interaksi
merupakan proses sosial antar manusia. Interaksi ini kemudian membentuk
kehidupan sosial yang nantinya menjadi dasar dalam sistem sosial di dalam
struktur kehidupan manusia tersebut. Adanya suatu sistem di dalam kehidupan
antar manusia mengakibatkan antara individu dalam sistem tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain dan saling ketergantungan. Ketergantungan antara
manusia itu memunculkan suatu sikap dan perasaan untuk saling membutuhkan dan
saling memenuhi antara kebutuhan diantara mereka. Alasan inilah yang membuat
manusia berpikir bahwa suatu kebutuhan diantara mereka tidak akan terpenuhi
tanpa bantuan orang lain.
Ekonomi politik pada
hakikatnya adalah melihat hubungan timbal balik antara kepentingan ekonomi dan
kepentingan politik, namun setelah kita melihat indikator perbedaan antara
ekonomi dan politik tentu juga ada persamaan antara dua ilmu ini, yaitu
sama-sama untuk mencapai kepuasan, ketika orang sudah kaya atau sudah bosan
dengan kekayaan tersebut maka mereka mencoba merubah kebosanan dengan masuk atau
terjun ke ranah politik. Baik secara langsung atau melalui sokongan dana bagi
penguasa pemerintahan.
Maka tidak heran
sekarang, banyak yang ada di parlemen kita sekarang berasal dari pengusaha, dan
tidak heran juga kenapa banyak calon kepala daerah yang bertarung dalam
pilkada, sumbangan mengalir banyak dari para pengusaha, sehingga ketika calon
kepala daerah ini terpilih akan memudahkan akses ekonomi bisnis proyek para
pengusaha, sekali lagi motif ekonomi dan politik dua hal yang berbeda tetapi
sulit untuk dipisahkan karena ilmu ini selalu akan terjadi interaksi karena
kepentingan itu tadi.
Berbicara
tentang orang cina di Indonesia, citra yang muncul di benak kita adalah
orang-orang pekerja keras yang sukses dalam dunia bisnis. Keuletan dan kejelian
dalam menemukan peluang menjadi amunisi yang mampu mengalahkan lawan.
Kesuksesan banyak orang cina di Indonesia sering menimbulkan kecemburuan,
mereka yang merupakan kaum pendatang mampu menguasai perekonomian pribumi
Indonesia di hampir semua sektor. Mereka dianggap merusak tatanan ekonomi
masyarakat pribumi. Ketertinggalan ekonomi pribumi kontra kemajuan ekonomi
orang Cina sudah terjadi sejak jaman orde baru. Konflik seringkali pecah,
bahkan pasca orde baru terjadi penjarahan besar-besaran di rumah-rumah orang Cina.
Stereotipe terhadap orang-orang Cina sudah terlanjur terinternalisasi sejak
jaman kolonial hingga sekarang.
Ketidaksenangan
pribumi terhadap keberhasilan usaha orang-orang cina di Indonesia yang semakin
berkembang mencapai puncaknya dalam huru-hara yang pecah di Jakarta selama
kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka bulan Januari 1974, dengan
mengahancurkan took-toko pengusaha cina di pusat perbelanjaan Senen yang saat
itu baru dibangun. Kerusuhan paling besar yang telah membuat trauma dan hampir
melanda seluruh kota-kota di Indonesia, yang menciptakan rasa takut tidak saja
bagi etnis Cina tetapi juga seluruh lapisan masyarakat adalah peristiwa 12 - 14
Mei 1998. Sebab, "Mei Kelabu" sering disebut demikian disertai dengan
tindakan kekerasan seperti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan
bahkan pemerkosaan (Siburian, 1999).
Meski dalam pergaulan sosial di
masyarakat, orang Cina dan orang pribumi kerap terlibat perselisihan terutama
saat rezim Soeharto akan tetapi di tingkat elit politik justru para pengusaha Cina
begitu dekat dengan para pejabat pemangku kekuasaan. Kedekatan ini
diinterpretasikan sebagai langkah untuk memuluskan bisnis mereka di Indonesia.
Dengan menjalin hubungan yang erat maka kebijakan akan dengan mudah diatur
sesuai dengan kepentingan pengusaha. Masalah perijinan pun menjadi lebih mudah
diperoleh.
Kesempatan yang terbuka bagi usaha orang Cina mendapat
banyak kritik , terutama oleh para pesaing usaha pribumi. Kritik tersebut
ditujukan bagi para cukong ( pengusaha-pengusaha tionghoa yang bersekutu dengan
pemegang kekuasaan Indonesia). Mereka diuntungkan dan mendapat perlakuan yang
istimewa untuk kontrak, izin dan kredit sebagai imbalan atas bagian keuntungan
untuk pejabatan yang bersangkutan. Meskipun pengusaha-pengusaha Cina sangat
jarang yang memiliki posisi strategis di pemerintahan, dengan jaringan yang
luas dengan para pejabat mereka memiliki peluang pasti untuk kemudahan
bisnisnya. Sederhananya mereka ada di ‘belakang layar’.
Secara aktual empirik dalam dunia politik menyatakan
bahwa tidak ada kawan atau pun musuh yang abadi tetapi yang kekal adalah sebuah
kepentingan, dimana para pelaku politik menjalin interaksi hanya untuk
pertukaran kepentingan yang sifatnya mutualisme. Jika hubungan sudah tidak lagi mendatangkan keuntungan, maka
selesailah hubungan tersebut.
Gradasi hubungan penguasa dengan pengusaha dalam dunia
politik sulit terpisahkan, dunia politik membutuhkan asupan dana untuk
menggulirkan dan memperkuat fondasi strategi politik demi memperoleh kekuasaan.
Tentu saja dana itu disedot dari kantong dan pundi-pundi para pengusaha. Biaya
kampanye partai politik dan para calon pemimpin membutuhkan dana yang tidak
sedikit. Di sisi lain, pengusaha memformulasikan hubungan yang real untuk mendapatkan ganjaran dan
imbalan yang seimbang dari kontribusi yang disumbangkan kepada elit politik. Lawrence
C.becker dalam resiprositas mengandung nilai moral dimana kita memiliki
kewajiban memberi,menerima dan membalas hadiah.
Pada perspektif
patron-klien (Maswadi Rauf, 2001:103) menyatakan bahwa hubungan itu merupakan
proses tukar menukar jasa. Dengan kata lain kedua belah pihak terlibat dalam
proses saling memberi dan menerima. Patron memberikan resources yang dimilikinya untuk dimanfaatkan para klien, dan para
klien memberikan dukungan dan bantuan kepada patron.
Kekuasaan elit
politik dan relasinya dengan pengusaha menciptakan konsensus politik yang
menjadi magnet hubungan pertukaran kepentingan seperti distribusi posisi
kekuasaan, penanganan proyek serta kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Realitasnya bahwa bantuan operasional politik,
untuk “melunasi biaya politik” yang harus ditanggung penguasa, kepada kelompok
pengusaha yang telah melimpahkan dukungan dalam memenangkan suksesi politik.
Dalam hubungan kerjasama orang cina sangat
mengedepankan kesetiaan, apabila relasinya dapat bersikap setia dan jujur maka
loyalitas orang Cina tidak diragukan lagi, bahkan mereka akan mengangap
relasinya sebagai keluarga fiktif. Kekuatan ekonomi orang Cina dalam relasinya
dengan para elite politik berimplikasi pada kekuasaan yang dimilikinya melalui
para pejabat.
Seperti pengusaha
umumnya, Liem lihai mendekati banyak orang yang memiliki akses kepada kekuasaan
apalagi saat itu pengusaha keturunan Cina mendapat rintangan yang serius dalam
berusaha di Indonesia. Saat itu sedang ramai jenis usaha jual-beli beslit,
karena kebijakan Assa’at yang menghalangi pengusaha keturunan Cina menguasai
sektor ekonomi, Assa’at mengeluarkan apa yang disebut ‘Program ekonomi
Benteng’. Namun agenda ekonomi yang bernada rasial itu malah jadi permainan
dagang jual beli beslit yang kerap disebut sebagai Ali-Baba. Pada tahun 1957 ia
berhasil menguasai saham Bank Central Asia, dari BCA inilah kemudian ia
membentuk kanal-kanal modal ke berbagai unit usaha antara lain ke PT Mega,
dimana salah satu mertua Bung Karno, ayah kandung ibu Fatmawati yang bernama
Hassan Din dilibatkan.
Kutipan diatas menunjukkan bagaimana Presiden dan Jenderal-Jenderal
Militer baik pada masa Sukarno dan Suharto memiliki hubungan khusus dengan
pengusaha, saat itu persoalan rasial memang amat pelik bahkan di masa Sukarno
persoalan itu kerap membuat kerusuhan sosial, di masa Suharto kerusuhan bisa
dikendalikan. Selain itu narasi yang disampaikan Jenderal Mitro dalam
biografinya memperkuat analisa bahwa memang struktur kekuasaan di Indonesia
tidak berubah sejak jaman Hindia Belanda, di masa Hindia Belanda ada ungkapan :
Elke Regent Heeft zijn Chinees Tiap Bupati punya orang Cinanya.
Menurut analisa banyak pengamat bisnis asing, bisnis raksasa
Liem Sioe Liong ‘tak akan bertahan satu hari setelah Suharto jatuh’
karena memang Liem sendiri amat bergantung pada fasilitas-fasilitas yang
diberikan penguasa Orde Baru ini, berdasarkan hitung-hitungan bisnis ini Liem
tidak akan berlangsung lama setelah kejatuhan Suharto, akan tetapi nyatanya
sekarang bisnis Liem masih berjalan bahkan berkembang. Liem membangun apa yang
disebut jaringan bisnis luar negeri grup Liem –“The Liem’s Offshore Empire”
Liem membangun banyak pabrik dan jaringan bisnis di Liberia, Antillen Islands,
Hongkong, Singapura, Amerika Serikat, Belanda dan banyak negara lainnya.
Pada bulan Mei 1998 Suharto
jatuh oleh hantaman krisis ekonomi yang kerap disebut ‘krisis moneter’. Liem
Sioe Liong jelas terkena akibatnya, ia sendiri merasa trauma dengan penyerbuan
massa ke rumahnya, menghancurkan di dalamnya, menarik turun fotonya dan
membakar fotonya di tengah jalan. Liem dianggap massa sebagai ‘bagian terlekat
dari rezim Suharto’. Setelah huru-hara dan masuknya rezim reformis yang baru
hasil kesepakatan kelompok oposisi dan loyalis Suharto yang kemudian balik
badan menentang Suharto tercapai, Indonesia mulai stabil kembali tapi tidak
bagi Liem banyak perusahaannya terjerat BLBI dan segala macam bentuk kesulitan
lainnya beberapa perusahaan besarnya diambil alih konglomerat lain seperti
Prajogo Pangestu. Liem akhirnya hijrah ke Singapura dan tidak kembali tinggal
di Indonesia.
Kesimpulan
Dalam membangun kerajaan
bisnis diperlukan jaringan yang luas dengan berbagai kalangan, tak terkecuali
dengan para elite politik pemangku kekuasaan. Sosok pemimpin menentukan
kelanjutan bisnis orang cina di indonesia. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah
akan berpengaruh terhadap keberlangsungan bisnis. Maka bukanlah hal yang aneh
jika banyak pengusaha cina yang memiliki kedekatan personal dengan para pejabat
yang berkuasa. Elite politik termasuk pemerintah menjadi alat untuk menyetir
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak pengusaha. Kucuran dana kampanye
dari para pengusaha harus dikembalikan dengan kemudahan akses membuka usaha.
Perijinan, permodalan, dsb menjadi lebih mudah, ekspansi bisnis dan ekstensi
bisnis akan lebih mulus karena semua urusan administratif dengan mudah
terselesaikan. Dengan kekuatan ekonominya para pengusaha cina dapat
mengendalikan para pejabat untuk kepentingan bisnisya..
Kita dapat belajar dari
falsafah orang cina bahwa untuk dapat hidup dan berbakti pada
keluarga,masyarakat,bangsa dan negara membutuhkan materi, yang diperoleh
melalui kerja keras dan pandai mencari dan memanfaatkan peluang. Etos kerja
yang tinggi dan serta kedisiplinan yang ditanamkan sejak kecil dari lingkungan
keluarga membentuk karakter pribadi yang apresiatif dengan waktu. Nilai-nilai
budaya dan agama benar-benar diaplikasikan secara nyata dalam berbagai dimensi
kehidupan orang cina. Sebetulnya kita sebagai pribumi memiliki peluang untuk
sukses seperti mereka. Kembali pada akar nilai budaya dan agama, kita akan
mampu membangun bangsa dengan kekuatan ekonomi,kemapanan budaya dan stabilitas
politik yang menjadi ciri bangsa yang maju.
Sumber :
Nugrahanto,Anton
DH. 2012.In Memoriam Liem Sioe Liong. http://sosok.kompasiana.com/2012/06/11/in-memoriam-liem-sioe-liong-468894.html
Burke,Peter.1993.History and Social Theory.Cornel
University Press:New York ( e-book )
Becker,C.Laurence.1986.Reciprocity.University of Chicago
Press:London ( e-book )
Serge,Christophe
Kolm.Reciprocity:An Economics Of Social Relations( e-book )
Coppel,A.
Charles.1994.Tionghoa Indonesia Dalam
Krisis.Pustaka Sinar Harapan:Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar