Perempuan Dalam
Pusaran Kekuasaan
Sejarah pilu ketidakadilan gender setua sejarah
peradaban manusia. Dan sejarah tua manusia selalu menempatkan perempuan sebagai
korban atas ketidakadilan gender yang dikontruksi oleh para penguasa saat itu.
Belum lagi marginalisasi perempuan di sektor pertanian karena kebijakan
pemerintah untuk beralih menggunakan mesin pemotong padi sehingga para
perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga harus kehilangan sumber
pendapatannya. Status perempuan sebagai pekerja kelas dua terlihat dari
pembedaan gaji buruh di pabrik,
Relasi kekuasaan gender yang tidak
seimbang menyebabkan rendahnya posisi wanita di banding pria
, dan rendahnya akses wanita di dalam pengambilan keputusan yang
terkait dengan dirinya dan mendapatkan akses yang sama terhadap sumberdaya
seperti pendidikan, keterampilan dan informasi. Keadaan tersebut secara tidak
langsung maupun langsung akan membentuk pola permasalahan yang dihadapi wanita
seperti TKW, trafficking dan kekerasan dalam rumah tangga.
Banyak
pengamat, terutama kaum feminis, menyebut konstruksi sosial seksualitas- lah
yang menyebabkan ketidakadilan yang menimpa kaum wanita. Artinya, diskriminasi
tersebut muncul sebagai hasil konstruksi berupa pembedaan antara sifat (ciri)
kelaki-lakian (maskulinitas) dan kewanitaan (femininitas) oleh masyarakat, dan
bukan dari perbedaan genitalnya. Istilah yang biasa dipakai adalah perbedaan
gender. Misalnya, adanya konstruksi ide bahwa perempuan itu lemah, emosional,
lembut dan setia. Sebaliknya pria digambarkan kuat, rasional dan agresif.
Padahal sifat- sifat tersebut relatif terdapat baik dalam perempuan maupun
pria.
Kekuasaan yang dominan dipegang oleh laki-laki seringkali
menyebabkan perempuan menjadi subordinat bahkan menjadi termarginalkan. Jauh
sebelum negeri ini diproklamirkan, perempuan telah mengalami ketidakadilan
gender karena tekanan dari penguasa. Dalam sejarah kerajaan di nusantara
perempuan dijadikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan keturunan yang
akan memperluas wilayah kekuasaan Raja. Perempuan dianggap sebagai mesin cetak
manusia yang kapanpun bisa digunakan dan dibuang begitu saja. Eksploitasi ini
lebih hidup dalam tulisan sastra, seperti kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Masuk jaman Penjajahan perempuan-perempuan
kelas bawah menjadi korban pelampiasan seksual dan alat perluasan kekuasaan
kaum bangsawan. Mereka diangkut ke istana untuk dijadikan “istri percobaan” dan dibuang begitu saja setelah tidak lagi memuaskan.
Perlawanan
Perempuan Atas Ketidakadilan Gender
Berbagai kisah sedih nasib para perempuan Indonesia
yang bermuara pada dehumanisasi manusia, tidak lantas membuat kaum perempuan
berdiam diri, dalam beberapa periode berbeda ada gerakan-gerakan yang
menyuarakan kepentingan perempuan, menuntut kesetaraan gender dan perlakuan
yang manusiawi.
·
Kisah Rara Kidul
dengan Panembahan Senapati atau Ratu Kalinyamat dalam sejarah Jaka Tingkir-Aria
Penangsang, misalnya, sedikitnya menunjukkan kemandirian wanita yang tidak mau
dikuasai laki-laki.
·
Cerita-cerita
Cindur Mato dari Padang, Toar dan
Lumimuut dari Minahasa, atau Taman Taruai dan Anowimpi dari Irian Jaya, yang
memperlihatkan bagaimana dominsi perempuan dalam pengambilan keputusan.
·
Perlawanan
emansipatoris Kartini di Rembang melalui pendidikan terhadap kaum perempuan.
·
Kowani dan
Gerwani merupakan organisasi perempuan yang tidak saja aktif memperjuangkan
persamaan hak pria-wanita, tetapi juga turut dalam perjuangan kemerdekaan dan
mengisi pembangunan. Meski pada akhirnya Kowani terkooptasi dan Gerwani
dihapuskan oleh rejim Orde Baru.
·
LBH APIK,
Solidaritas Perempuan, dan Kalyanamitra, menjadi contoh wadah perjuangan, tidak
saja demi kesetaraan gender tetapi juga, secara luas: demi perjuangan
demokratisasi pada saat Orde Baru.
·
Konsep Women in
Development ( WID ) diganti menjadi Gender in Development ( GID), untuk
mendestruksi struktur patriarki dalam pembangunan.
·
Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, menjadi wadah bagi pelayanan bagi kaum perempuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi Kementrian ini Nampak tidak
begitu bergairah menangani berbagai kasus yang menimpa perempuan Indonesia.
Saya rasa Kementrian Pemberdayaan Perempuan hanya menjadi pembuktian Pemerintah saja supaya dinilai peka terhadap
kesetaraan gender. Mungkin saja kementrian khusus perempuan ini hanya menjadi rumah bagi kaum hawa agar tetap pada kontrol
pemerintah yang mana didominasi oleh laki-laki. Semoga saja asumsi saya salah.
Secara historis ketidakadilan gender adalah fenomena
klasik yang masih popular hingga sekarang. Permasalahan tentang perempuan
menjadi buah bibir yang kian hari semakin menyedihkan. Perempuan yang sejatinya
adalah mahluk yang begitu dimuliakan dalam beberapa dogma agama, nyatanya tidak
juga menjadi mulia bagi manusia sendiri. Ketidakadilan gender dengan korban
terbanyak adalah perempuan nampak jelas terlihat dalam berbagai aktifitas baik
domestik maupun publik, perempuan yang diberi label mahluk lemah justru
memiliki beban kerja yang lebih berat dari pria yang dikonstruksi secara
sosial-budaya sebagai mahluk yang kuat. Beban kerja ganda dirasakan betul oleh
mereka para perempuan yang harus bekerja di rumah dan menjadi wanita karir.
Menjadi wanita karir tidak lantas mengamankan posisi perempuan. Misalnya ketika
perempuan bekerja di sektor publik kemudian anak-anaknya menjadi nakal,kurang
berprestasi, maka ibu lah yang menjadi tersangka utama. Karena konstruksi
budaya yang menjadikan ibu sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Namun ironisnya
justru perempuan sebagai pendidik dalam rumah tangga perpendidikan lebih rendah
dari laki-laki, bayangkan akan seperti apa generasi kita jika ibu yang ditunjuk
sebagai pendidik tidak tahu apa-apa soal pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Untunglah masih ada perempuan-perempuan yang perduli
dengan nasib kawan-kawannya, apa yang dilakukan beberapa tokoh diatas
menunjukan bahwa dengan usaha dan tekad yang kuat perempuan mampu mensejajarkan
diri dengan pria. Misalnya banyak perempuan yang menjadi dosen,ilmuwan yang
mana dulu ini merupakan domain laki-laki.
Saya mengharapkan perempuan akan lebih memperoleh
kesempatan terutama akses pendidikan untuk meningkatkan kualitas
intelektualitas dan kepribadian perempuan. Pergerakan kaum wanita diharapkan
akan menginspirasi perempuan-perempuan Indonesia untuk berusaha menjadi lebih
mandiri. Tuntutan kesetaraan gender diharapkan tidak merubah pandangan
perempuan terhadap laki-laki. Berbagai ketidakadilan gender terjadi karena
konstruksi sosial-budaya yang dibentuk,diperkuat dan disosialisasikan baik oleh
laki-laki maupun perempuan. Maka perlu kerjasama antara laki-laki dan perempuan
untuk sama-sama menjalin relasi yang saling menguntungkan, dalam arti adil,
proporsional bagi keduanya.
Sumber :
Gudon Esje , Ketidakadilan Gender Dalam Diskursus Kekuasaan